Beberapa
waktu yang lalu, berita jatuhnya Pesawat Sukhoi sempat menjadi topik
pembicaraan yang hangat dikalangan masyarakat. Bahkan beberapa media massa,
baik media cetak maupun media elektronik menjadikan kisah tragis jatuhnya Pesawat Sukhoi SuperJet 100 sebagai
headline news. Sehingga tidak heran jika semua orang ramai membicarakan
peristiwa ini.
Sebuah
media elektronik (merdeka.com), menjelaskan bahwa pada hari Rabu, 9 Mei 2012, pesawat
Sukhoi SuperJet 100 terjatuh saat sedang melaksanakan demonstrasi penerbangan
atau joyflight. Pesawat dengan nomor penerbangan RA36801, berangkat dari
bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada pukul 14.12 WIB dengan mengangkut 45
orang. Delapan orang diantaranya adalah awak pesawat dari Rusia dan beberapa
penumpang lainnya adalah dari media massa dan utusan perusahaan dari bidang
penerbangan di Indonesia. Sukhoi superjet 100 (SSJ100) diperkirakan terjatuh setelah menabrak tebing
di puncak Gunung Salak, Bogor. Pesawat ini mengalami kecelakaan beberapa saat
setelah putus komunikasi dengan pusat pengaturan lalu lintas udara atau Air
Traffic Centre (ATC).
Diketahui
bahwa Sukhoi SuperJet 100 adalah salah satu pesawat terbaru di Rusia dan
merupakan pesawat penumpang pertama yang dikembangkan pasca bubarnya Uni
Soviet. Pesawat ini ditunjukan untuk menggantikan Tupolev Tu-134 dan Yakovlev
Yak-42 yang merupakan peninggalan Uni Soviet yang sering mengalami kecelakaan.
Pesawat nahas itu dikemudikan oleh pilot senior dari rusia Alexander Yablontsev
dan co pilot Alexander Kocetkov. Mereka sudah menerbangkan pesawat itu dari
Rusia, Kazakhstan, Pakistan, dan Myanmar. Namun, keduanya baru pertama kali menerbangkan
pesawat tersebut di wilayah Indonesia.
Tragedi
kecelakaan pesawat Sukhoi SuperJet 100 ini menimbulkan banyak persepsi mengenai
penyebab jatuhnya pesawat tersebut. Koordinator Rescue PT Dirgantara Indonesia
Bambang Munardi memperkirakan bahwa pesawat Sukhoi Superjet-100 jatuh karena
masuk ruang hampa. Inilah yang menjadi alasan pilot untuk meminta izin turun.
Lebih jauh Bambang menjelaskan bahwa kemungkinan masuk ruang hampa udara di
ketinggian antara 10.000 kaki sampai 6000 kaki. Sangat sulit untuk
mempertahankan keseimbangan pesawat dalam kondisi seperti itu. Pilot harus
memiliki keahlian khusus. Selain itu, pesawat juga harus punya teknologi untuk
mengatasi masalah tersebut. Sementara itu, Komite Nasional Keselamatan
Transportasi (KNKT) lebih menfokuskan penyelidikan jatuhnya Sukhoi Superjet 100
RA-36801 pada ada atau tidaknya izin untuk menurunkan ketinggian pesawat dari
10.000 kaki ke 6000 kaki.
Bahkan
seorang penulis di Kompasiana.com, Seand Munir, mengemukakan pendapatnya
sendiri. Menurutnya, pesawat Sukhoi Superjet 100 jatuh karena mengalami
beberapa ganguan sinyal. Ganguan ini disebabkan karena beberapa penumpang yang
mengaktifkan telepon seluler (ponsel) saat pesawat sedang terbang. Analisa ini
terbukti, kata beberapa saksi, sejumlah panggilan ke ponsel mereka ternyata
tersambung namun tidak diangkat. Padahal hal ini sangat tidak diperbolehkan dan
bisa membahayakan penerbangan. Sebuah data dari Aviation Safety Reporting
System (ASRS) menyatakan bahwa sinyal ponsel dapat menggangu pesawat saat take
off hingga landing. Mulai dari gangguan sistem navigasi, gangguan frekuensi
komunikasi, gangguan idikator bahan bakar, gangguan sistem kemudi otomatis,
serta gangguan sistem yang lainnya.
Untuk
diketahui, posel tidak hanya mengirim dan menerima gelombang radio melainkan
juga meradiasikan tenaga listrik untuk menjangkau BTS (Base Transceiver
Situation). Sebuah ponsel dapat menjangkau BTS yang berjarak 35 kilometer.
Artinya, pada ketinggian 30.000 kaki, sebuah ponsel bisa menjangkau ratusan BTS
yang berada di bawahnya.
Keesokan
harinya, pada pukul 08.30 wib, serpihan bangkai pesawat SSJ100 berhasil
ditemukan oleh Tim SAR di koordinat yang sama pada saat pesawat putus
komunikasi dengan ATC. Berdasarkan informasi tersebut, kemudian segera dibentuk
tim evakuasi untuk membantu korban sekaligus mencari tahu penyebab jatuhnya
pesawat. Proses pencarian dan evakuasi juga melibatkan satuan Kopassus, yaitu 6
orang Tim Charlie yang dipimpin oleh Lettu. Taufik. Dari pencarian tersebut
akhirnya ditemukan Black Box (Kotak Hitam) yang dianggap dapat mengetahui
jatuhnya pesawat sukhoi. Taufik menceritakan kronologi penemuan kotak hitam
itu. Awalnya, Tim Charlie Kopassus yang berjumlah lima orang menyisir dasar
jurang dan tebing Gunung Salak yang menjadi lokasi kecelakaan pesawat Sukhoi
Superjet 100 pada hari Rabu. Taufik mengatakan bahwa, kotak hitam ini ditemukan
pukul 16.40 wib di dekat potongan ekor pesawat. Kondisi kotak hitam itu sudah
terbakar. Sebagian besar kotak yang bisa merekam percakapan pilot, ketinggian,
dan kecepatan pesawat tersebut juga sudah menghitam akibat terbakar. Untuk
mengangkat kotak hitam itu, tim juga terpaksa harus menggunakan tali yang
langsung diangkat menuju helikopter Super Puma milik TNI Angkatan Udara.
Black
box atau kotak hitam merupakan bagian dari pesawat yang dapat memberikan
informasi mengenai peristiwa jatuhnya pesawat. Benda ini berfungsi merekam
semua kejadian yang terjadi di pesawat, beberapa saat sebelum pesawat itu
hancur. Sehingga melalui rangkain rekaman komunikasi dalam pesawat diharapkan
dapat deketahui secara pasti penyebab jatuhnya pesawat.
PENJELASAN
Kotak
hitam atau black box, menurut wikipedia ensiklopedia adalah sekumpulan
perangkat yang digunakan dalam bidang transportasi,
umumnya merujuk kepada perekam data
penerbangan (flight
data recorder; FDR) dan perekam suara kokpit (cockpit voice recorder; CVR)
dalam pesawat terbang.
Fungsi
dari kotak hitam sendiri adalah untuk merekam pembicaraan antara pilot dan pemandu lalu lintas
udara atau air
traffic control (ATC) serta untuk mengetahui tekanan udara
dan kondisi cuaca
selama penerbangan. Walaupun dinamakan kotak hitam tetapi sesungguhnya kotak
tersebut tidak berwarna hitam melainkan berwarna jingga (oranye). Hal ini dimaksudkan untuk
memudahkan pencarian jika pesawat itu mengalami kecelakaan. Penempatan
kotak hitam ini dilakukan sedemikian rupa sehingga mudah ditemukan. Umumnya
terdapat dua unit kotak hitam yang diletakkan pada bagian depan pesawat dan
bagian ekor pesawat, yang diyakini merupakan bagian yang utuh ditemukan.
Istilah
kotak hitam muncul ketika selepas pertemuan mengenai perekam penerbangan
komersial pertama yang dinamai "Red Egg" karena warna dan bentuknya,
seseorang berkomentar: "Ini adalah kotak hitam yang menakjubkan".
Kotak hitam adalah istilah yang lebih humoris dan hampir tidak pernah digunakan
dalam industri keselamatan penerbangan. Perekam ini secara umum tidak berwarna
hitam, namun biasanya oranye terang agar mudah dicari dan ditemukan setelah
terjadi suatu insiden.
Sejarah
Lahirnya Kotak Hitam (black box)
Pada
tahun 1953, David Warren seorang Ilmuwan Aeronautical Research Laboratory (ARL)
di Australia, menggagas pembuatan sebuah alat perekam percakapan antara pilot
dengan kru selama penerbangan. Hal ini terinspirasi saat sebuah pesawat jet
jatuh di India dan tidak dapat diketahui penyebabnya.
Alat
ini ini bisa merekam suara pilot dan semua data yang diterima dari 8 alat yang
berbeda. Semua data ini bisa dipisah dan menghasilkan data yang akurat tentang
penyebab kecelakaan. Alat ini kemudian dirancang untuk digunakan dalam
perawatan dan pemeliharaan pesawat. Kemudian alat rekaman ini dimasukkan ke
dalam kotak baja yang kuat untuk menjaga agar tidak ikut hancur ketika
kecelakaan pesawat. Kotak ini juga dilapisi asbes tahan api sehingga
kabel-kabelnya tidak ikut rusak karena panas.
Kotak
hitam atau black box terdiri dari dua bagian utama, yaitu Flight Data Recorder
(FDR) dan Cockpit Voicer Recorder (CVR). Flight Data Recorder (FDR) berisi
parameter yang berhubungan dengan semua teknis penerbangan yang dipantau
melalui beberapa sensor. Sedangkan Cockpit Voicer Recorder (CVR) berisi tentang
semua rekaman suara antara pilot, co pilot, dan semua kru penerbangan serta
suara mesin-mesin lainnya yang berada di cockpit.
Cara
kerja mesin ini adalah dengan mengolah dan menganalisa data yang diterima oleh
FDR dan CVR. Seluruh data yang dikumpulkan oleh sensor sensor di pesawat
terbang di kirim ke flight-data acquisition unit (FDAU) yang terletak di ekor
pesawat. FDAU inilah sebagai perantara sebelum data di simpan dalam kotak
hitam. Untuk dapat dianalisa, data dan FDR dan CVR dibaca dengan menggunakan
peralatan dan piranti lunak khusus. Proses untuk menganalisa data tersebut
membutuhkan waktu yang cukup lama, berkisar antara mingguan bahkan bisa sampai
berbulan-bulan. Bahkan pada kasus Sukhoi Superjet 100 diketahui bahwa untuk
mengidenfikasi rekaman pada kotak hitam pesawat ini membutuhkan waktu sampai
satu tahun atau 12 bulan. Ketua Komisi Nasional Keselamatan Transportasi
(KNKT), Tatang Kurniadi mengatakan untuk menginvestigasi dan meneliti isi dari
pesan yang terekam di flight recorder atau kotak hitam membutuhkan waktu
minimalnya 12 bulan. “Kami membutuhkan waktu minimalnya sekitar 12 bulan untuk
bisa mengungkap isi rekaman dari kotak hitam agar bisa mengungkap apa yang
menjadi penyebab jatuhnya pesawat komersial Sukhoi Superjet-100 di kawasan
Gunung Salak, Bogor pada Rabu lalu,” kata Tatang kepada wartawan, Rabu.
Dalam
suatu situs (www.swat-online.com) dijelaskan bahwa pihak berwenang telah
meneliti kotak hitam tersebut. Namun masih dibutuhkan informasi tambahan untuk
melengkapi keteranggannya tersebut. Menurut Ketua KNKT, pihaknya sudah mulai
melakukan penelitian terhadap bagian kotak hitam yang ditemukan yakni Cockpit
Voice Recorder atau rekaman suara kokpit di laboratorium milik KNKT di Jakarta.
Selain
itu, pihaknya juga masih menunggu bagian lain dari kotak hitam yakni Flight
Data Recorder atau rekaman data terbang yang saat ini masih dalam pencarian
oleh tim SAR gabungan.
“Penelitian
ini sudah kami lakukan, dengan ditemukannya CVR sudah bisa mengungkap bagaimana
kondisi pesawat dan penumpang dari sebelum terjadinya kecelakaan sampai
penyebab pesawat tersebut bisa terjatuh,” tambahnya.
Namun,
dikatakan Tatang lebih baik lagi FDR juga ditemukan dan kemudian dilakukan
penelitian sehingga hasilnya bisa lebih jelas untuk mengungkap peristiwa
jatuhnya pesawat buatan Rusia di Gunung Salak.
Jadi
masih memerlukan waktu untuk mencari dan mengidntifikasi CVR yang sudah
ditemukan. Paling tidak untuk waktu dekat KNKT sudah bisa meneliti rekaman
suara pada CVR pesawat Sukhoi Superjet 100.
KESIMPULAN
Saat
ini, kotak hitam atau black box merupakan benda utama yang harus ditemukan
pasca terjadinya suatu kecelakaan pesawat. Banyak peristiwa kecelakaan pesawat
yang kemudian dapat diketahui penyebab terjadinya kecelakaan tersebut, dari
informasi yang ada pada black box.
Seperti
pada kasus kecelakaan pesawat sebelumnya. Yaitu Garuda Indonesia dan Pesawat
Adam Air yang jatuh lima tahun lalu. Berhasil diketahui penyebab kecelakaan
melalui informasi yang diperoleh dari kotak hitam pesawat tersebut.
Kotak
hitam atau Black Box merupakan bagian dari pesawat yang dapat memberikan
informasi mengenai jatuhnya pesawat. Benda ini berfungsi merekam semua
komunikasi di dalam pesawat antara pilot dan co pilot serta semua kru
penerbangan dan suara mesin-mesin lainnya yang berada di cockpit. Benda ini
pertama kali dibuat pada tahun 1953, oleh seorang Ilmuwan Aeronautical Research
Laboratory (ARL) di Australia bernama David Warren.
Cara
kerja alat ini hampir sama dengan mesin perekam. Yaitu merekam semua jalur
komunikasi yang terjadi di dalam pesawat. Sehingga dari rekaman komunikasi yang
berlangsung, dapat diketahui penyebab jatuhnya pesawat. Kotak hitam atau black
box terdiri dari dua bagian utama, yaitu Flight Data Recorder (FDR) dan Cockpit
Voicer Recorder (CVR). Kedua komponen ini berfungsi mengumpulkan data
komunikasi yang akan diolah menjadi informasi. Sehingga nantinya dapat
diperoleh kesimpulan mengenai penyebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang.
Sesuai
namanya, CVR ini merekam data-data percakapan pilot di dalam kokpit. CVR ini
ada 4 saluran yang merekam percakapan: Saluran 1 terhubung dengan pengeras
suara yang biasa digunakan pramugari kepada penumpang Saluran 2 terhubung
dengan co-pilot. Saluran 3 terhubung dengan pilot yang terhubung dengan air
traffic controller (ATC). Saluran 4 merekam seputar suasa kokpit, misalnya
mesin yang berisik atau hujan.
Sedangkan
FDR berfungsi untuk merekam data-data penerbangan. alat ini merekam data-data
teknis pesawat seperti ketinggian, kecepatan, putaran mesin, radar, auto pilot
dan lain-lain. Ada 5 sampai 300 parameter data penerbangan yang direkam dalam
kotak hitam ini.
FDR mempunyai durasi rekaman hingga 25-30 jam. Artinya setelah 25-30 jam, data akan terhapus dengan sendirinya. Data yang diperoleh lantas ditampilkan dalam bentuk grafik maupun transkrip apabila data tersebut berupa percakapan. Kemudian data bisa divisualkan dengan animasi melalui software, yang salah satunya bernama Insight View. Dengan demikian bisa diperkirakan posisi pesawat terakhir sebelum kecelakaan. CVR dan FDR ini akan hidup secara otomatis apabila mesin pesawat dihidupkan.
FDR mempunyai durasi rekaman hingga 25-30 jam. Artinya setelah 25-30 jam, data akan terhapus dengan sendirinya. Data yang diperoleh lantas ditampilkan dalam bentuk grafik maupun transkrip apabila data tersebut berupa percakapan. Kemudian data bisa divisualkan dengan animasi melalui software, yang salah satunya bernama Insight View. Dengan demikian bisa diperkirakan posisi pesawat terakhir sebelum kecelakaan. CVR dan FDR ini akan hidup secara otomatis apabila mesin pesawat dihidupkan.
Sesungguhnya,
hasil analisa dari Black Box bukanlah satu-satunya sumber untuk dapat
menyimpulkan penyebab suatu kecelakaan. Perlu juga menggabungkan dan
mengsinkronisasikannya dengan berbagai macam temuan lainnya untuk dapat
menyimpulkan secara utuh dan komprehensif penyebab peristiwa kecelakaan suatu
pesawat.